Makna kata “Maqashid” dan “Mashalih”
Makna kata “Maqashid” dan “Mashalih”
Sejatinya
kedua kata ini sering kita temukan diberbagai kajian ke Islam an. Namun, yang
dimaksud disini adalah pemaknaan yang terdapat dalam ruang lingkup kajian
Maqashid as-Syariah, sebuah kajian yang lagi membumi-buminya dewasa ini.
Setidaknya, dalam berbagai literature Maqashid, ada beberapa cara pendekatan
yang digunakan untuk mengenal makna dua kata tersebut.
Pertama dari sisi
kebahasaan, atau yang sering kita kenal dalam istilah kitab kuning dengan ungkapan
“Lughatan”, kedua pemakanaan suatu kata jika sudah berada dalam ruang lingkup
tertentu. Ketiga, dari sejarah. Ya, mungkin saja maksudnya adalah sejarah kata
itu pakai dan dimaknakan. Kurang lebihnya, tulisan singkat ini akan memaparkan
ketiga pendekatan tersebut.
Kata
Maqashid, secara bahasa, ialah bentuk jama’ dari kata Maqshad yang berarti
tujuan. Dalam pemakaiannya, kata Maqshad ini sering disamakan maknanya dengan
beberapa kosa kata Arab lainnya, seperti al-Hadfu, al-Gardu, al-Mathlub,
al-Ghayah. Dalam bahasa Inggris, kata Maqshad ini semakna dengan kata End.
Adapun kata Mashalih merupakan bentuk jama’ dari kata Mashlahah yang berarti
kebaikan. Dari segi arti, kata al-Mashlahah juga memiliki kesamaan dengan kata
“Khairu”.
Sedangkan
dalam kajian Maqashid Syariah, kata Maqashid dimaknakan sebagai tujuan syariat
yang bermuara kepada kemashlahatan/kebaikan umat manusia. Hukum zina, mencuri,
dan lain-lain diturunkan oleh Allah ta’ala tak lain dan tak bukan untuk
kebaikan kita umat manusia, baik didunia ini dan di akhirat kelak. Imam
al-Juwaini, kerab memaknai Maqashid semakna dengan Mashalih, karna hubungan
keduanya yang terlalu dekat. Dari ini, sebagai pengaji kajian Maqashid Syariah,
kita harus selalu sadar bahwa pemicaraan tentang Maqashid tidak akan lepas dari
ranah Mashalih.
Dalam sejarahnya, teori Maqashid Syariah,
mula-mula disusun oleh Abdul Malik al-Juwaini (478ه). Pada waktu itu, Al-Juwaini menggunakan
kata Maqashid semakna dengan kata al-Mashlahah al-Ammah. Rancangan teori yang
digagas oleh Al-Juwaini ini dilanjutkan oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghazali
(505 ه). Dalam karyanya yang sangat terkenal,
al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh, al-Ghazali mengembangkan teori gurunya tersebut
dalam sub bab al-Mashlahah al-Mursalah.
Apa
yang telah dirancang al-Ghazali dalam karnya tersebut, dikembangkan kembali
oleh dua tokoh Maqashid setelahnya, yaitu Fakhruddin al-Razi (631ه) dan al-Amidi (631ه). Kedua tokoh ini tidak membuat
isthilah-isthilah baru, mereka hanya mengikut bahasa dan isthilahnya imam
al-Ghazali.
Pada
abad ke depalan Hijri, Najmuddin al-Thufi (716ه) memaknai kata Mashlahah dengan “sebab
yang membawa kepada tujuan Syari’ (Allah dan Rasul). Sedangkan Imam al-Qarafi,
pada abad 13 Hijri, menegaskan bahwa syara’ tidak akan menghitung sebuah
kemaslahatan, kecuali kemashlahatan tersebut harus benar, serta membawa kepada
kebaikan dan menolak kejahatan.
Referensi
: Jaser Audah, Maqashid as-Syariah.
* Penulis : Ahmad Rifqi, DS,
15-01-2016…
0 komentar:
Posting Komentar