Teroeskan membina TARBIJAH ISLAMIJAH ini sesoeai dengan peladjaran jangkoe berikan ____Syech Soelaiman Arrasoeli

Kamis, 21 Januari 2016

Makna kata “Maqashid” dan “Mashalih”


Makna kata “Maqashid” dan “Mashalih”


Sejatinya kedua kata ini sering kita temukan diberbagai kajian ke Islam an. Namun, yang dimaksud disini adalah pemaknaan yang terdapat dalam ruang lingkup kajian Maqashid as-Syariah, sebuah kajian yang lagi membumi-buminya dewasa ini. Setidaknya, dalam berbagai literature Maqashid, ada beberapa cara pendekatan yang digunakan untuk mengenal makna dua kata tersebut. 

Pertama dari sisi kebahasaan, atau yang sering kita kenal dalam istilah kitab kuning dengan ungkapan “Lughatan”, kedua pemakanaan suatu kata jika sudah berada dalam ruang lingkup tertentu. Ketiga, dari sejarah. Ya, mungkin saja maksudnya adalah sejarah kata itu pakai dan dimaknakan. Kurang lebihnya, tulisan singkat ini akan memaparkan ketiga pendekatan tersebut.

Kata Maqashid, secara bahasa, ialah bentuk jama’ dari kata Maqshad yang berarti tujuan. Dalam pemakaiannya, kata Maqshad ini sering disamakan maknanya dengan beberapa kosa kata Arab lainnya, seperti al-Hadfu, al-Gardu, al-Mathlub, al-Ghayah. Dalam bahasa Inggris, kata Maqshad ini semakna dengan kata End. Adapun kata Mashalih merupakan bentuk jama’ dari kata Mashlahah yang berarti kebaikan. Dari segi arti, kata al-Mashlahah juga memiliki kesamaan dengan kata “Khairu”.

Sedangkan dalam kajian Maqashid Syariah, kata Maqashid dimaknakan sebagai tujuan syariat yang bermuara kepada kemashlahatan/kebaikan umat manusia. Hukum zina, mencuri, dan lain-lain diturunkan oleh Allah ta’ala tak lain dan tak bukan untuk kebaikan kita umat manusia, baik didunia ini dan di akhirat kelak. Imam al-Juwaini, kerab memaknai Maqashid semakna dengan Mashalih, karna hubungan keduanya yang terlalu dekat. Dari ini, sebagai pengaji kajian Maqashid Syariah, kita harus selalu sadar bahwa pemicaraan tentang Maqashid tidak akan lepas dari ranah Mashalih.

Dalam sejarahnya, teori Maqashid Syariah, mula-mula disusun oleh Abdul Malik al-Juwaini (478ه). Pada waktu itu, Al-Juwaini menggunakan kata Maqashid semakna dengan kata al-Mashlahah al-Ammah. Rancangan teori yang digagas oleh Al-Juwaini ini dilanjutkan oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghazali (505 ه). Dalam karyanya yang sangat terkenal, al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh, al-Ghazali mengembangkan teori gurunya tersebut dalam sub bab al-Mashlahah al-Mursalah.

Apa yang telah dirancang al-Ghazali dalam karnya tersebut, dikembangkan kembali oleh dua tokoh Maqashid setelahnya, yaitu Fakhruddin al-Razi (631ه) dan al-Amidi (631ه). Kedua tokoh ini tidak membuat isthilah-isthilah baru, mereka hanya mengikut bahasa dan isthilahnya imam al-Ghazali.

Pada abad ke depalan Hijri, Najmuddin al-Thufi (716ه) memaknai kata Mashlahah dengan “sebab yang membawa kepada tujuan Syari’ (Allah dan Rasul). Sedangkan Imam al-Qarafi, pada abad 13 Hijri, menegaskan bahwa syara’ tidak akan menghitung sebuah kemaslahatan, kecuali kemashlahatan tersebut harus benar, serta membawa kepada kebaikan dan menolak kejahatan.

Referensi : Jaser Audah, Maqashid as-Syariah.

* Penulis : Ahmad Rifqi, DS, 15-01-2016…








0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Definition List