Dimensi Kajian Maqashid as-Syariah (Part 1)
Dimensi Kajian Maqashid as-Syariah (Part 1)
Pada
tulisan sebelumnya, kita telah membahas makna dari kata Maqashid dari berbagai
perspektif. Sekarang, dalam tulisan yang amat singkat ini, kita akan mencoba
sedikit lebih masuk kedalam kajian Maqashid, yaitu dengan membahas
dimensi-dimensi atau sisi-sisi apa saja yang dikaji dalam ilmu Maqashid
as-Syariah ini.
Jaser
Audah, seorang tokoh Maqashid kontemporer dalam bukunya “Maqashid as-Syariah”
menjelaskan bahwa dimensi kajian Maqashid itu, paling tidaknya, ada 4. Pertama;
tingkatan kebutuhan. Kedua; cakupan/ruang hukum yang ditujukan untuk mencapai
maqashid. Ketiga; macam manusia yang tercakup dalam ruang lingkup maqashid. Dan
keempat adalah tingkatan keumuman Maqashid. secara berlahan namun pasti, kita
akan mencoba memahami dimensi-dimensi tersebut.
Pertama;
tingkat kebutuhan. Sejatinya, pembicaraan tentang masalah ini bukanlah pembicaraan
yang dianggap baru, namun beberapa tokoh Maqashid klasik, seperti imam
al-Ghazali dan lain-lain sudah menggeluti isu-isu yang terkait dengan ini. Para
Ulama membagi kebutuhan manusia menjadi tiga. Pertama Daruri. Kedua Hajati.
Ketiga tahsini. Kebutuhan dharuri adalah kebutuhan yang mesti ada dan harus
didapatkan oleh manusia, karna jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kehidupan
mereka akan terancam dan bisa diambang kematian. Tak lain, ada lima bentuk dari
kebutuhan daruri ini. Yaitu hifzud-din (memelihara agama), hifzun-nafas
(memeihara diri), hifzul-mal (memelihara harta), hifzul-‘aqal (memelihara
akal), hifzun-nasal (memelihara keturunan). Sebagian pendapat menambahkan
“hifzul-irdhi (memelihara kehormatan) sebagai salah satu dari macam kebutuhan
yang dharuri.
Nah,
ulama Maqashid, dari zaman klasik hingga zaman sekarang berpandangan bahwa kelima
macam ini mesti terpenuhi untuk menciptakan manusia yang layak disebut sebagai
manusia. Sebagai contoh sederhana yang dapat mendeskripsikan kebutuhan dharuri
ini adalah masalah keharaman minum khamar atau keharaman riba dan monopoli
pasar. Minum khamar, riba dan monopoli dilarang oleh agama karna kehidupan kita
sebagai manusia bisa terancam.
Dengan minum khamar, fungsi akal untuk berfikir kepada hal yang lebih positif
menjadi hilang, dan dengan adanya praktek riba dan monopoli di dunia pasar,
maka kesenjangan kondisi harta di lingkungan masyarakat tidak dapat
dihindarkan. Artinya apa, akal dan harta kita tidak berfungsi sebagai mestinya,
yaitu sarana untuk mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat kelak. Oleh
sebab itu, 5 macam kebutuhan dharuri tersebut harus terpenuhi, jika kita ingin
mencapai kehidupan yang layak sebagai manusia dan ingin menggapai kebahagian
yang abadi.
Kebutuhan
yang kedua adalah kebutuhan Hajati. Kedudukan kebutuhan ini tidak sepenting
kebutuhan yang pertama yang dapat membawa bahaya bagi kehidupan manusia, jika
ia tiada. Namun walaupun begitu, Islam tetap memberikan semangat kepada umat manusia untuk mencapai
kebutuhan Hajati ini. Contoh kebutuhan Hajati adalah nikah, berdagang, dan
lain-lain. Tentu, kehidupan kita tidak akan terancam, jika kita tidak menikah
dan berdagang. Tapi, kondrat kita sebagai manusia membutuhkan perkara-perkara
seperti ini. Tak salah, dalam al-Quran atau Hadis Nabi sering sekali ditemukan
perintah untuk menikah dan berusaha di dunia ini.
Ketiadaan
kebutuhan Hajati memang tidak membawa kepada kebahayaan bagi kehidupan. Tapi,
sekiranya kebutuhan ini tidak ada sama sekali atau ketiadaannya sudah
mengglobal, niscaya ia naik kepada kebutuhan dharuri. Ini sesuai dengan kaidah
yang menegaskan : Hajat, apabila telah merata, maka ia menempati tempat
dharuri. Misalkan, di dunia ini tidak ada orang yang berdagang, tidak ada orang
yang menikah dan lain-lain. Tentu hal ini akan berdampak pada kemusnahan
kehidupan manusia. Harta dan keturunan manusia bisa terancam.
Kebutuhan
yang ketiga adalah kebutuhan Tahsini. Singkatnya, kebutuhan ini hanya sebagai
pelengkap dari dua kebutuhan sebelumnya. Kita berpakaian bagus,
berharum-haruman, punya rumah yang bagus merupakan hal pelengkap kebutuhan kita
sebagai manusia, walaupun ketiadaan beberapa hal tersebut juga tidak membawa
kehidupan kita kepada kesengsaraan.
Referensi
: Jaser Audah, Maqashid as-Syariah.
Penulis : Ahmad Rifqi, DS,
16-01-2016.
0 komentar:
Posting Komentar