Teroeskan membina TARBIJAH ISLAMIJAH ini sesoeai dengan peladjaran jangkoe berikan ____Syech Soelaiman Arrasoeli

Selasa, 16 Februari 2016

Hijrah dalam sejarah Pesantren



Hasil gambar untuk hijrah
Hijrah dalam sejarah Pesantren

                                Oleh : Ahmad Rifqi

Tak terasa lama, rasanya baru kemaren ritual tahunan itu baru dilaksanakan. Malam ini, ritual ibadah itupun dilaksanakan kembali. Tak  lain, semuanya di lakukan dengan hikmat sebagai tanda kasih sayang dan penghormatan terhadap sejarah perpindahan  Nabi Muhammad saw dari kota Mekah menuju kota Madinah al-Munawwarah.

Dalam sejarah Islam, kata “hijrah” tidak hanya sebatas kosa kata bahasa Arab yang berarti “perpindahan”. Lebih dari itu, Hijrah di maknakan lebih luas menurut perspektif keilmuan  masing-masing.
Menutut ahli tasawuf, hijrah dimaknakan sebagai perpindahan jiwa atau etika seseorang dari yang selama ini dilumuri dengan yang keji dan buruk menuju kepada kelakuan yang penuh dengan budi pengertian yang baik.
Begitu juga dengan ahli Fiqih, sirah, filsafat, dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai pemaknaan sendiri-sendiri.

Tak kalahnya, pesantren, selaku lembaga pendidikan ala Nusantara, ia juga memaknai sendiri kata Hijrah tersebut. Dari berbagai sudut padang yang dapat ditilik, pesantren selalu memperlihatkan hasil kesimpulannya mengenai konsep hijrah. Misalkan dari bidang pendidikan, ekonomi, peradaban, penyatuan dengan adat dan hubungan sosial.

Sejak awal berdirinya, pesantren memaknai fenomena perpindahan (hijrah) yang dilakukan nabi tersebut sebagai tanda perubahan cara pandang dalam pendidikan. Pendidikan dan pengetahuan tidak hanya diperuntukkan bagi ahli Mekah atau bagi kaum Quraisy saja,  namun harus dikembangkan  kepada setiap orang. Siapapun dia, dari suku atau ras apa dia, dalam menerima ajaran Islam mereka sama dan tidak dibedakan satu sama lain.

Dari sinilah bermula, salah satu sistem yang dipakai dalam dunia pesantren adalah sistem halaqah (duduk bersama dalam satu ruangan dengan cara melingkar). Sewaktu pengajian dilansungkan, terlihat jelas, tidak ada yang tinggi, yang mulia, yang kaya, yang hebat bahkan yang berkuasa. Semuanya  duduk dalam satu hamparan. Lutut pun saling beradu, tanda kekerabatan yang saling bertegur sapa dalam bahasa bisu.
Selain itu, dalam lingkungan pesantren juga dikenal dengan yang namanya mengkaji adat istiadat setempat. Pesantren, selain tempat menuntut ilmu agama,juga di jadikan ranah memahami adat masyarakat sekitar. Tak lain maksud dari pengajaran tersebut adalah kiat mengembangkan pengajaran yang telah dituntut di pesantren kepada masyarakat luas.

Sebut saja, Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Dalam masa perjuangannya menegakkan paham Aswaja dan mazhab Syafi’i di tanah Minang, beliau tidak hanya memadai persiapan dakwahnya dengan pemahaman ilmu agama semata. Lebih dari itu, ilmu adat atau corak berfikit masyarakat sekitar, juga beliau kuasai. Sehingga, pada kala itu, ahli adat setempat yang dikenal sering bersebrangan pendapat dengan ulama, tidak ada yang berani menyangkal pendapat beliau. Tak salah jika dikatakan bahwa dakwah Aswaja dan maszhab Syafi’I, di era itu, cukup terbilang cepat.

Begitulah sedikit corak pemaknaan kaum pesantren terhadap fenomena Hijrah rasulullah saw.
Namun, sudah suatu yang pasti, pemahaman pesantren tentang hijrah tidak bisa diwakilkan  dengan dua penafsiran diatas itu saja. Masih banyak hal-hal lain yang belum di bicarakan dan didiskusikan. Bahkan menurut penulis, dalam tulisan ini pun, semua aspek pemaknaan yang dilakukan pesantren juga tidak akan memadai.

Akan tetapi, itu semua juga tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengungkap penafsiran tersebut satu persatu, paling tidak, proses penggalian makna itu pun perlu dilakukan.
Dalam padangan penulis, pemaknaan hijrah dalam tubuh pesantren sangat terlihat jelas, jika sudut pandang yang digunakan adalah sejarah. Dengan membaca sejarah, semua kelakuan dan perubahan (perpindahan) dalam pesantren akan terlihat jelas.

Pada awalnya, memang kita akui pemaknaan hijrah yang dilakukan pesantren memang bersifat positif dan penuh dengan suasana ke Nusantaraan. Tapi, dalam perjalanannya apakah masih tetap begitu, atau malah berbalik arah?.
Berikut saya tulis sedikit perjalan pesantren di masa lalu. Untuk menjawab pertanyaan di atas, silahkan di tanggapi masing-masing.
Dalam cakupan  Nusantara, istilah pesantren merupakan sebutan penduduk Jawa dalam memperkenalkan  sebuah bangunan atau tempat menuntut ilmu agama. Yang disana, keluh kesah keagamaan di selesaikan. Tidak hanya para santri, masyarakat umum juga tidak luput memanfaatkan sarana pendidikan yang terdapat didalamnya. Berbeda dengan Jawa, di daerah Aceh, bangunan tersebut dikenal dengan sebutan dayak, sedangkan di tanah Minang, lebih umum dipanggil dengan istilah Surau. Secara penyebutan memang berbeda, tapi secara isi semuanya sama.

Dikala dulu, pesantren atau surau sangat mempunyai peran yang sangat penting dalam masyarakat. Pengembangan ilmu agama, menyatukan agama dengan adar istiadat, membangunan perekonomian masyarakat bahkan menyelesaikan permasalahan politik Negara adalah sebagian kecil dari peran yang sangat berpengaruh itu.

Kehadiran pesantren dalam masyarakat sangat mendapati tanggapan yang antusias. Banyak masyarakat yang mendambakan bisa menjadi salah satu orang pesantren. Bahkan, disebagian negri, didapati hampir semua masyarakatnya ngaji dan menjadi anggota pesantren.
Dalam peranannya menanggapi adat istiadat yang berbeda, pesantren juga tidak kaku dan kesulitan. Dengan berpakaian kebudayaan dan tradisi, pesantren malah tambah menarik perhatian umum. Rasa kenusantaraan di tubuh pesantren sangat terasa. Apalagi, setelah berhasilnya pesantren menyatukan ajaran agama Islam yang datang dari negri Arab dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda.

Begitu juga dengan sisi pengamalan dan keteguhan dalam mengembangkan ajaran Islam. Walaupun dengan berbagai pakaian tradisi yang ada, Pesantren  masih tetap dengan tujuan awalnya,dan  tidak  pernah tertipu dengan kebudayaan setempat. Tercatat dalam berbagai sejarah, baik yang diteliti oleh kaum pesantren sendiri atau pun hasil riset dari kaum Orientalis, bahwa pesantren selalu di ramaikan oleh para santrinya. Surau-surau suluk di berbagai tempat masih diminati dan selalu dihangatkan dengan suasana zikir. Bisa dikatakan, pesantren tak pernah sunyi dari penghuni yang selalu beribadah didalamnya.

Keberadaan pesantren seperti yang diceritakan diatas adalah pada masa-masa kejayaannya. Yaitu sekitar, abad 18 dan 19 an. Pada waktu itu pesantren memang pusat semua kegiantan.
Sesuai dengan tema diatas, pesantren tidak selamanya begitu. Melihat kepada banyak factor dan sebab pendukung, konsep hijrah kembali di tafsiran oleh pesantren. Banyak perombakan dan peralihan dari berbagai sisi. seperti dari sisi sistem pendidikan, pemahaman tentang masyarakat sekitar dan lain-lain sebagainya.

Sehingga, pemaknaan kembali terhadap konsep hijrah itu pun memberikan efek-efek atau dampak yang sangat berbeda dengan pemaknaan awal. Pada mulanya, pesantren memaknai konsep hijrah bahwa pendidikan tidak hanya bagi mereka yang kaya atau orang yang mampu. Semua orang berhak untuk mendapatkannya. Beda dengan sekarang, pengetahuan hanya bisa dicicipi bagi mereka yang punya uang dan mampu memenuhi kebutuhan mereka di pesantren. Bagi yang tidak mampu, ya mesti dikeluarkan.
Selain itu, pesantren juga tidak menyatu dengan masyarakat setempat. Dalam kata lain, pesantren tidak di huni oleh masyarakat dan masyarakat juga tidak tergolong dalam anggota pesantren. Ada rasa malu yang muncul di benak masyarakat, seketika anak-anak mereka di suruh untuk belajar di pesantren.

Apalagi dengan fakta yang terjadi dalam tubuh pesantren itu sendiri. Efek hijrah (perpindahan) sangat dirasakan. Ia tak lagi mengajarkan syariat yang tepat, sesuai dengan ajaran para gurunya. Sekarang, pesantren tidak lagi bangga dengan ke tokohan para pendirinya. Mereka lebih suka mengkaji ajaran wahabi yang selalu menentang thariqat dan malu jika dikatakan sebagai pondok pesantren atau surau yang mengajarkan serta mengamalkan ibadah suluk.
Ya, itulah segelumit kisah perjalanan pesantren, dalam memanai konsep Hijrah yang pernah dilakukan oleh baginda Nabi saw.

Tentu dari masa ke masa pemaknaan itupun akan berbeda. Namun, yang terpenting sekarang adalah memikirkan pemaknaan hijrah yang seperti apa yang harus diterapkan dalam pesantren, paling tidak untuk satu tahun kedepan?. Apakah masih tetap begitu atau ada perubahan lain?.

Selamat Tahun baru 1437 Hijriah…semoga lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Definition List