Hijrah dalam sejarah Pesantren
Hijrah dalam sejarah Pesantren
Oleh : Ahmad Rifqi
Tak terasa
lama, rasanya baru kemaren ritual tahunan itu baru dilaksanakan. Malam ini,
ritual ibadah itupun dilaksanakan kembali. Tak lain, semuanya di lakukan dengan hikmat
sebagai tanda kasih sayang dan penghormatan terhadap sejarah perpindahan Nabi Muhammad saw dari kota Mekah menuju kota
Madinah al-Munawwarah.
Dalam
sejarah Islam, kata “hijrah” tidak hanya sebatas kosa kata bahasa Arab yang
berarti “perpindahan”. Lebih dari itu, Hijrah di maknakan lebih luas menurut
perspektif keilmuan masing-masing.
Menutut ahli
tasawuf, hijrah dimaknakan sebagai perpindahan jiwa atau etika seseorang dari
yang selama ini dilumuri dengan yang keji dan buruk menuju kepada kelakuan yang
penuh dengan budi pengertian yang baik.
Begitu juga
dengan ahli Fiqih, sirah, filsafat, dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai
pemaknaan sendiri-sendiri.
Tak kalahnya,
pesantren, selaku lembaga pendidikan ala Nusantara, ia juga memaknai sendiri
kata Hijrah tersebut. Dari berbagai sudut padang yang dapat ditilik, pesantren
selalu memperlihatkan hasil kesimpulannya mengenai konsep hijrah. Misalkan dari
bidang pendidikan, ekonomi, peradaban, penyatuan dengan adat dan hubungan sosial.
Sejak awal
berdirinya, pesantren memaknai fenomena perpindahan (hijrah) yang dilakukan
nabi tersebut sebagai tanda perubahan cara pandang dalam pendidikan. Pendidikan
dan pengetahuan tidak hanya diperuntukkan bagi ahli Mekah atau bagi kaum
Quraisy saja, namun harus dikembangkan kepada setiap orang. Siapapun dia, dari suku
atau ras apa dia, dalam menerima ajaran Islam mereka sama dan tidak dibedakan
satu sama lain.
Dari sinilah
bermula, salah satu sistem yang dipakai dalam dunia pesantren adalah sistem
halaqah (duduk bersama dalam satu ruangan dengan cara melingkar). Sewaktu
pengajian dilansungkan, terlihat jelas, tidak ada yang tinggi, yang mulia, yang
kaya, yang hebat bahkan yang berkuasa. Semuanya duduk dalam satu hamparan. Lutut pun saling
beradu, tanda kekerabatan yang saling bertegur sapa dalam bahasa bisu.
Selain itu, dalam
lingkungan pesantren juga dikenal dengan yang namanya mengkaji adat istiadat setempat.
Pesantren, selain tempat menuntut ilmu agama,juga di jadikan ranah memahami
adat masyarakat sekitar. Tak lain maksud dari pengajaran tersebut adalah kiat
mengembangkan pengajaran yang telah dituntut di pesantren kepada masyarakat
luas.
Sebut saja,
Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Dalam masa perjuangannya menegakkan paham Aswaja dan
mazhab Syafi’i di tanah Minang, beliau tidak hanya memadai persiapan dakwahnya
dengan pemahaman ilmu agama semata. Lebih dari itu, ilmu adat atau corak berfikit
masyarakat sekitar, juga beliau kuasai. Sehingga, pada kala itu, ahli adat setempat
yang dikenal sering bersebrangan pendapat dengan ulama, tidak ada yang berani
menyangkal pendapat beliau. Tak salah jika dikatakan bahwa dakwah Aswaja dan
maszhab Syafi’I, di era itu, cukup terbilang cepat.
Begitulah
sedikit corak pemaknaan kaum pesantren terhadap fenomena Hijrah rasulullah saw.
Namun, sudah
suatu yang pasti, pemahaman pesantren tentang hijrah tidak bisa diwakilkan dengan dua penafsiran diatas itu saja. Masih
banyak hal-hal lain yang belum di bicarakan dan didiskusikan. Bahkan menurut
penulis, dalam tulisan ini pun, semua aspek pemaknaan yang dilakukan pesantren
juga tidak akan memadai.
Akan tetapi,
itu semua juga tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengungkap penafsiran
tersebut satu persatu, paling tidak, proses penggalian makna itu pun perlu
dilakukan.
Dalam
padangan penulis, pemaknaan hijrah dalam tubuh pesantren sangat terlihat jelas,
jika sudut pandang yang digunakan adalah sejarah. Dengan membaca sejarah, semua
kelakuan dan perubahan (perpindahan) dalam pesantren akan terlihat jelas.
Pada
awalnya, memang kita akui pemaknaan hijrah yang dilakukan pesantren memang
bersifat positif dan penuh dengan suasana ke Nusantaraan. Tapi, dalam
perjalanannya apakah masih tetap begitu, atau malah berbalik arah?.
Berikut saya
tulis sedikit perjalan pesantren di masa lalu. Untuk menjawab pertanyaan di
atas, silahkan di tanggapi masing-masing.
Dalam cakupan
Nusantara, istilah pesantren merupakan
sebutan penduduk Jawa dalam memperkenalkan sebuah bangunan atau tempat menuntut ilmu
agama. Yang disana, keluh kesah keagamaan di selesaikan. Tidak hanya para
santri, masyarakat umum juga tidak luput memanfaatkan sarana pendidikan yang
terdapat didalamnya. Berbeda dengan Jawa, di daerah Aceh, bangunan tersebut dikenal
dengan sebutan dayak, sedangkan di tanah Minang, lebih umum dipanggil dengan
istilah Surau. Secara penyebutan memang berbeda, tapi secara isi semuanya sama.
Dikala dulu,
pesantren atau surau sangat mempunyai peran yang sangat penting dalam
masyarakat. Pengembangan ilmu agama, menyatukan agama dengan adar istiadat,
membangunan perekonomian masyarakat bahkan menyelesaikan permasalahan politik
Negara adalah sebagian kecil dari peran yang sangat berpengaruh itu.
Kehadiran pesantren
dalam masyarakat sangat mendapati tanggapan yang antusias. Banyak masyarakat
yang mendambakan bisa menjadi salah satu orang pesantren. Bahkan, disebagian
negri, didapati hampir semua masyarakatnya ngaji dan menjadi anggota pesantren.
Dalam peranannya
menanggapi adat istiadat yang berbeda, pesantren juga tidak kaku dan kesulitan.
Dengan berpakaian kebudayaan dan tradisi, pesantren malah tambah menarik
perhatian umum. Rasa kenusantaraan di tubuh pesantren sangat terasa. Apalagi,
setelah berhasilnya pesantren menyatukan ajaran agama Islam yang datang dari
negri Arab dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda.
Begitu juga
dengan sisi pengamalan dan keteguhan dalam mengembangkan ajaran Islam. Walaupun
dengan berbagai pakaian tradisi yang ada, Pesantren masih tetap dengan tujuan awalnya,dan tidak pernah tertipu dengan kebudayaan setempat.
Tercatat dalam berbagai sejarah, baik yang diteliti oleh kaum pesantren sendiri
atau pun hasil riset dari kaum Orientalis, bahwa pesantren selalu di ramaikan
oleh para santrinya. Surau-surau suluk di berbagai tempat masih diminati dan
selalu dihangatkan dengan suasana zikir. Bisa dikatakan, pesantren tak pernah
sunyi dari penghuni yang selalu beribadah didalamnya.
Keberadaan
pesantren seperti yang diceritakan diatas adalah pada masa-masa kejayaannya.
Yaitu sekitar, abad 18 dan 19 an. Pada waktu itu pesantren memang pusat semua
kegiantan.
Sesuai
dengan tema diatas, pesantren tidak selamanya begitu. Melihat kepada banyak
factor dan sebab pendukung, konsep hijrah kembali di tafsiran oleh pesantren.
Banyak perombakan dan peralihan dari berbagai sisi. seperti dari sisi sistem
pendidikan, pemahaman tentang masyarakat sekitar dan lain-lain sebagainya.
Sehingga,
pemaknaan kembali terhadap konsep hijrah itu pun memberikan efek-efek atau
dampak yang sangat berbeda dengan pemaknaan awal. Pada mulanya, pesantren
memaknai konsep hijrah bahwa pendidikan tidak hanya bagi mereka yang kaya atau
orang yang mampu. Semua orang berhak untuk mendapatkannya. Beda dengan
sekarang, pengetahuan hanya bisa dicicipi bagi mereka yang punya uang dan mampu
memenuhi kebutuhan mereka di pesantren. Bagi yang tidak mampu, ya mesti
dikeluarkan.
Selain itu,
pesantren juga tidak menyatu dengan masyarakat setempat. Dalam kata lain,
pesantren tidak di huni oleh masyarakat dan masyarakat juga tidak tergolong
dalam anggota pesantren. Ada rasa malu yang muncul di benak masyarakat,
seketika anak-anak mereka di suruh untuk belajar di pesantren.
Apalagi
dengan fakta yang terjadi dalam tubuh pesantren itu sendiri. Efek hijrah
(perpindahan) sangat dirasakan. Ia tak lagi mengajarkan syariat yang tepat,
sesuai dengan ajaran para gurunya. Sekarang, pesantren tidak lagi bangga dengan
ke tokohan para pendirinya. Mereka lebih suka mengkaji ajaran wahabi yang
selalu menentang thariqat dan malu jika dikatakan sebagai pondok pesantren atau
surau yang mengajarkan serta mengamalkan ibadah suluk.
Ya, itulah
segelumit kisah perjalanan pesantren, dalam memanai konsep Hijrah yang pernah
dilakukan oleh baginda Nabi saw.
Tentu dari
masa ke masa pemaknaan itupun akan berbeda. Namun, yang terpenting sekarang
adalah memikirkan pemaknaan hijrah yang seperti apa yang harus diterapkan dalam
pesantren, paling tidak untuk satu tahun kedepan?. Apakah masih tetap begitu
atau ada perubahan lain?.
Selamat Tahun baru 1437 Hijriah…semoga lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar