Teroeskan membina TARBIJAH ISLAMIJAH ini sesoeai dengan peladjaran jangkoe berikan ____Syech Soelaiman Arrasoeli

Jumat, 24 Juni 2016

Qiyas menurut Imam as-Syafi’i

            Qiyas menurut Imam as-Syafi’i


Salah satu metode instimbat al-Ahkam (penggalian hukum) menurut mazhab Imam Syafi’i adalah metode Qiyas. Metode ini kerab digunakan setelah jawaban permasalahan yang terjadi tidak ditemukan di dalam al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Metode Qiyas juga dapat dikatakan sebagai metode yang sangat layak dan relevan bagi setiap waktu dan tempat, sebab metode ini mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadis.

Di dalam kitab ar-Risalah, Imam as-Syafi’I menyinggung masalah Qiyas sebagai satu bagian dari perkara Bayan. Artinya, metode Qiyas merupakan metode bayan yang dapat digunakan dalam mengistimbat (mengeluar) kan hukum dari masalah-masalah yang terjadi. Oleh karenanya, seyogyanya bagi seorang Faqih untuk mengenal dan mempelajari metode Bayan ini supaya ketetapan/keputusan yang ia ambil tidak berlawanan dengan al-Quran dan Hadis.

Secara defenisi, imam Syafii memberikan defenisi Qiyas sebagai berikut :

والقياس ما طلب بالدلائل على موافقة الخبر المتقدم من الكتاب والسنة

“ Qiyas adalah sesuatu yang dituntut (dibahas) dengan menggunakan berbagai dalil, dengan syarat ketentuan ini mesti bersesuaian dengan al-Quran dan Sunnah”.

Dari defenisi yang diberikan imam as-Syafii diatas, dapat dipahami bahwa Qiyas merupakan sesuatu pekerjaan atau sesuatu ketentuan yang ditetapkan dengan beberapa dalil. Dan ketentuan tersebut mesti tidak berlawanan dengan al-Quran dan Hadis.

Menurut beliau, ada dua kategori yang dapat digunakan sebagai tolak ukur dari Qiyas yang bersesuaian (الموافقة) dengan al-Quran dan Sunnah.

Pertama, kesesuaian “makna” yang menjadi sebab terjadinya hukum halal dan Haram pada perkara-perkara yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah (الأصل) dengan perkara-perkara baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah (الفرع). Contohnya adalah pada perkara wajib zakat padi/beras. Didalam al-Quran atau Sunnah, tidak ditemukan ayat atau hadis yang menjelaskan bahwa padi wajib dizakati. Cuma, dengan metode Qiyas ini, kita dapat menyimpulkan bahwa padi wajib dizakati dengan alasan karena makna (ilat) yang terdapat dalam hukum wajib zakat gandum yang dijelaskan oleh Hadis Nabi Saw juga terdapat dalam zat padi. Makna tersebut adalah sifat mengenyangkan.

Kedua, penyerupaan  dengan perkara yang lebih serupa dari dua perkara yang memiliki sisi keserupaan. Kategori ini dapat kita lihat dalam pendapat imam Syafi’i tentang denda buruan ketika masa Ihram. Menurut beliau, denda buruan tersebut adalah dengan mengganti jenis hewan yang sama, bukan dengan mengganti harga hewan yang dibunuh. Sebab, kesamaan hewan yang dibunuh dengan hewan lain yang sejenis lebih memiliki unsur kesamaan yang lebih banyak dibandingkan dengan harga hewan tersebut. Wallahu’alam. | A-R (santri).

Referensi : Muhammad bin Idris as-Syafi’i, ar-Risalah, Maktabah Syuruq al- Dauliyyah, hal : 126.

Sabtu, 18 Juni 2016

TARBIYAH adalah penyatu perbedaan kita

[ TARBIYAH adalah penyatu perbedaan kita ]

Jika ada orang yang bilang “ perbedaan adalah sumber perpecahan”, maka dengan tegas kami menjawab tidak. Bagi kami, perbedaan adalah hal yang wajar dan tidak perlu dijadikan kambing hitam bagi terjadinya perpecahan. Sebab, dibalik banyaknya perbedaaan tersebut, pasti ada kesamaan. Nah, dengan kesamaan tersebutlah persatuan akan terjadi. Alangkah indahnya sebuah persatuan, jika dilengkapi dengan perbedaan yang ada.

Sore ini, kami dari berbagai persantren melanjutkan kajian kitab tasauf bersama Buya Amran. Berhubung kemaren kitab Ayyuha al-Walad karya Imam al-Ghazali telah tamat, maka pada kesempatan kali ini kami memulai ngaji kitab Madariju as-Su’ud, sebuah kitab yang menjelaskan tentang selawat kepada Nabi Muhammad Saw. Tepatnya, kitab ini merupakan syarah dari kitab Barzanji, kitab selawat yang amat masyahur.

Berbeda dengan biasanya, sore ini termasuk sore yang istemewa. Setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan dari Buya, kami dihidangi Buya dengan berbagai makanan untuk berbuka bersama di kediaman beliau. Sungguh sesuatu yang amat berarti bagi kami. Sangat terasa bagaimana kami berguru dan mendapatkan kasih sayang guru. Kami yang pada mulanya berasal dari berbagai pesantren yang berbeda telah menyatu dibawah kasih sayang Buya dan ajaran Buya. Tidak ada perbedaan yang berarti diantara kami. Kami adalah satu dan bersaudara kandung. Tempat sekolah yang berbeda, pelajaran sekolah yang berbeda, atapun suasana sekolah yang berbeda bukanlah pembatas dan pemisah bagi kesatuan dan persaudaraan kami.

Apa yang kami rasakan ini sungguh benar. Apalagi setelah Buya menasehati bahwa kami ini adalah sama dan berasala dari yang satu, yaitu TARBIYAH, sebuah organisasi yang didirikan oleh Buya-Buya terdahulu, seperti Buya Syekh Sulaiman arrasuli dari Canduang, Buya Syekh Jamil Jaho dari Jaho padang panjang, dan Buya Syekh Abdul Wahid dari Tabek Gadang, Payakumbuh. Bermula dari organisasi Tarbiyah inilah Madrasah-madrasah dikampung kami ada dan  bersatu. Semoga Buya-Buya Tarbiyah selalu diberikan kesehatan, dan semoga kita semua, murid-murid Tarbiyah (anak siak) selalu dapat menjalin persaudaran diatara kita, walaupun tempat tinggal kita berjauhan.

Ooo..iya. Sebelum mengakhiri curhatan ngaji dengan Buya Amran kali ini, pada sore ini, kami yang sempat hadir dan mengikuti kajian serta berbuka bersama dengan buya adalah beberapa orang santri dari MTI Canduang, MTI Pasia, MTI at-Taqwa Canduang, MTI Ashabul Yamin Lasi, dan MTI Malalo. Semoga pada lain kesempatan, kita dari seluruh sekolah MTI dapat berkumpul dan saling kenal semua. Sebab, kita adalah SATU.

@Surau Buya Amran. Canduang, 18-06-2016.

Sidna Syekh Prof. Dr. Nuruddin 'Ali Jum'ah

 Sidna Syekh Prof. Dr. Nuruddin 'Ali Jum'ah

نور الدين ذو الكنى # أبو الحسن وأبو عبادة وأبو دعا

- Beliau dilahirkan pada 3 Maret 1952 tepatnya shubuh hari senin, dimana pada shubuh hari senin inilah waktu  dilahirkannya kekasih kita tercinta Nabi besar Muhammad صلى الله عليه وسلم .

 - Assayyid Muhammad Abdul Wahhab adalah bapak beliau yang memiliki 3 orang anak, 1 laki-laki  (Sidna 'Ali), sedangkan 2 lainnya adalah perempuan.

- Beliau mempunyai 3 orang putri dan 6 orang cucu.

- Beliau mempunyai 3 kun-yah.

Kun-yah pertama : Abu Ubadah, Abu Ubadah ini merupakan kun-yah yang sengaja beliau pilih sendiri karena kecintaan beliau terhadap shahabat nabi yang bernama Ubadah Ibn Shamit.

Kun-yah kedua : adalah  Abul Hasan dikarenakan setiap yang memiliki nama Ali berhak menyandang panggilan Abul Hasan meskipun tidak memiliki anak yang bernama Alhasan.

Sedangkan kun-yah ketiga beliau : adalah Abu Du'aa, hal ini dikarenakan beliau memiliki putri kandung bernama Du'aa.

- Ketiga kun-yah tersebut tetap berlanjut sampai beliau hampir memiliki calon putra yang pada akhirnya Allah taqdirkan meinggal dalam janin pada tahun 1992, sehingga calon bayi tersebut beliau namai dengan Ubadah.
- Beliau biasanya paling suka makan fuul dengan campuran zayt dan limun.

- Beliau juga menyukai 3 macam hobi disamping membaca, terlebih kita masih muda, seperti bersepeda, tenis, dan bola kaki.

اللهم احفظ سيدنا الشيخ وارض عنه واجمعنا وإياه مع سيد اﻵنام سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Jumat, 17 Juni 2016

Kajian Ramadhan; Khataman kitab Ayyuha al-Walad (أيها الولد)

Kajian Ramadhan; Khataman kitab Ayyuha al-Walad (أيها الولد)

Setiap orang tentu memiliki alasan masing-masing kenapa mereka selalu mengaji dan belajar. Sebagian orang, ada yang belajar disebabkan oleh tugas kampus/ sekolah, atau karena kebutuhan pekerjaan, bahkan ada juga belajar karena semata-mata pengaruh lingkungan yang baik, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang eksternal atapun yang internal yang menyebabkan seseorang mau dan ingin untuk belajar.

Begitu juga dengan kami, murid-murid Buya Amran A. Shamad. Bagi kami, belajar, selain merupakan kewajiban, adalah kebutuhan. Hidup ini terasa hampa jika semangat Dirasah (belajar) telah sirna. Prinsip kami yang seperti ini sejatinya adalah prinsip hidup Buya yang telah merasuk pada diri kami. Kenapa tidak, hampir setiap halaqah pengajian, Buya selalu menasehati : Baraja tu butuh waktu nan lamo, indak bisa satahun duo tahun (Belajar butuh waktu yang lama, tidak bisa hanya satu atau dua tahun saja).

Pada sore kemaren, Alhamdulillah kami diberikan nikmat oleh Allah bisa mengakhatami Kitab karya Imam al-Ghazali yang bernama Ayyuha al-Walad dibawah bimbingan Buya. Dengan semangat beliau menjelaskan isi kitab satu persatu, lafaz perlafaz kepada kami. Begitu juga dengan kami, sambil menahan lapar karena puasa, kami memperhatikan keterangan yang dijelaskan Buya. Dan jika kami menemukan keraguan, dengan lapang hati Buya mempersilahkan kami untuk bertanya. Begitu ramah dan tenangnya beliau menanggapi pertanyaan-pertanyaan kami.

Kitab Ayyuha al-Walad karya Imam al-Ghazali yang kami pelajari sekarang ini dengan Buya merupakan salah satu kitab rujukan dalam ilmu Tasauf, apalagi bagi orang tua yang sedang mendidik seorang anak. Sesuai dengan namanya, Ayyuha al-Walad (Wahai anak), kitab ini memaparkan bagaimana seorang anak berakhlak, baik ia terhadap Tuhannya, atapun terhadap orang tuanya, sesama besar atau kepada yang lebih kecil.

Acara khataman kitab Ayyuha al-Walad pada kesempatan kali ini, kami tutup dengan iringan selawat, dan doa serta berbukan bersama dengan Buya dan Ummi. Semoga, tradisi khataman ini terus bisa kita pertahankan. Dan semoga Buya Amran dan seluruh ulama diberikan kesehatan. Amiin.

Sebelum tulisan ini ditutup, ada satu nasehat Buya yang amat penting yang perlu kita ketahui.  Beliau berpesan “Jadikanlah kitab ini ( kitab Ayyuha al-Walad) sebagai cermin dalam kehidupan kalian”.

@Surau Buya Amran. 17-06-2016, Canduang.

Sabtu, 02 April 2016

Lawaqiul Anwar fi Thabaqatil Akhyar


[ kitab Lawaqi’ul Anwar fi Thabaqathi akhyar karya Syekh Abdul Wahab as-Sya’rawi ]

Dalam dunia Surau (Pesantren) banyak sekali kita temukan berbagai kitab yang menjelaskan adab atau kisah-kisah para ulama sufi. Seperti kitab Bidayatul Hidayah dan Minhajul Abidin karya Abu Hamid al-Ghazali, al-Hikam karya Ibnu Athaillah dan lain-lain. Semua itu, kita pelajari secara mendalam hingga akhirnya berujung pada pegamalan isi kitab tersebut. Dari fenomena ini, dapat kita rasakan bagaimana pengaruhdan pentingnya ajaran tasawuf bagi kalangan anak Siak (santri).

Pada kali ini, penulis akan memaparkan sedikit pengantar tentang kitab yang tak kalah pentingnya, selain beberapa kitab Tasawuf diatas, yaitu kitab yang disusun oleh Syekh Abdul Wahab as-Syarawi, seorang tokoh Shufi yang sangat produktif dalam menulis. Nama kitab tersebut adalah Lawaqiu’l Anwar fi Thabaqathi Akhyar.

Lawaqiu’l Anwar merupakan salah satu dari puluhan kitab yang ditulis oleh Syekh Abdul Wahab as-Syarawi. Singkatnya, kitab ini menjelaskan kisah-kisah, adab-adab atau hal-hal yang berhubungan dengan para  Shufi dari zaman Sahabat hingga zaman 9 atau separuh 10 Hijriah.

Dalam Muqaddimahnya, Syekh Abdul Wahab menjelaskan bahwa kitab ini disusun karna hanya satu hal, yaitu supaya orang-orang mengerti  dengan hal-hal yang berhubungan dengan tasawuf, seperti maqam, keadaan, dan lain-lain. kitab Lawaqiul Anwar ini ditulis dengan menggunakan motode Muhaddis. Apabila ditemukan riwayat yag pasti, maka Syekh Abdul Wahab menulisnya dengan menggunakan lafaf Jazam, tapi jika tidak, beliau cukupi dengan lafaz Tamrid, seperti Qiila dan Hukiya.

Dari paparan singkatnya pada pengantar kitab, ada beberapa pernyataan Syekh Abdul Wahab yang sangat menarik.

Antaranya adalah

إعلم يا أخي أن كل من طالع فى هذا الكتاب على وجه الاعتقاد وسمع ما فيه فكأنه عاصر جميع الأولياء المذكورين فيه و سمع كلامهم

“ Ketahuilah, wahai Saudaraku bahwa sesungguhnya setiap orang yang menelaah kitab ini atas dasar keyakinan dan mereka mendengarkan isinya, seolah-olah mereka semasa dengan para Awliya yang disebutkan dalam kitab ini dan mendengar pembicaraan mereka…..”

Dengan ungkapan tersebut, Syekh Abdul Wahab ingin menjelaskan bahwa dalam mencintai para wali Allah, maka tidak mesti semasa dengan mereka sebagaimana dalam mencintai Rasulullah Saw  juga tidak harus semasa dengan beliau.

Semoga dengan kitab ini, kita lebih bisa memahami para ulama Shufi dan bisa menambah kecintaan kita pada mereka hingga kita mengikuti jalan yang mereka tempuh.

@ Surau Buya Amran. 03-04-2016.

Selasa, 29 Maret 2016

Muqaddimah Alfiyyah Ibn Malik; Ujub yang Berakhir Manis

Hasil gambar untuk matan alfiah ibnu malik

 [ Muqaddimah Alfiyyah Ibn Malik; Ujub yang Berakhir Manis ] 

Kajian kali ini kita mulai dengan menterjemahkan terlebih dahulu 7 bait pembuka dari Kitab Alfiyyah ibn Malik. Ketujuh bait tersebut adalah sebagai berikut :
قَالَ مُحَمَّد هُوَ ابنُ مَالِكِ # أَحْمَدُ رَبِّي اللَّهَ خَيْرَ مَالِكِ
Muhammad alias Ibn Malik berkata, “Aku memuji Tuhanku, yaitu Allah sebaik-baik Raja pemelihara diriku”.
مُصَلِّيَاً عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى # وَآلِهِ الْمُسْتَكْمِلِينَ الْشَّرَفَا
Seraya bersalawat untuk Nabi pilihan, dan keluarganya yang telah menyempurnakan sifat-sifat kemulian.
وَأَسْتَعِيْنُ اللَّهَ فِي أَلْفِيَّهْ # مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
Aku memohon pertolongan Allah dalam menyusun kitab Alfiyyah ini, yang di dalamnya meliputi (penjelasan-penjelasan) yang dimaksud dalam Ilmu Nahwu.
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ # وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
Alfiyyah ini mendekatkan pengertian yang jauh dengan ungkapan yang mudah, dan menguraikan materi yang luas dengan bahasa yang sederhana.
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ # فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
Alfiyyah ini juga menghendaki penerimaan yang tulus dari segenap pembacanya, mengungguli Kitab Alfiyyah karya Ibn Mu’thi.
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Namun) Ibn Mu’thi lebih utama karena beliaulah yang mengawalinya, sehingga sudah sepantasnya pujian baikku untuknya.
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَاتٍ وَافِرَهْ # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, untukku dan untuknya berupa derjat yang tinggi di akhirat kelak”.
Sudah menjadi tradisi di kalangan ulama dari dulu hingga sekarang setiap kali mengawali karyanya dengan menuliskan basmalah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengamalkan sebuah riwayat yang bersumber dari Sahabat Abi Hurairah ra bahwasanya Rasulullah Saw pernah bersabda, “setiap perbuatan baik yang tidak diawali dengan basmalah maka keberkahannya akan terputus”. Hadis ini terdapat dalam Kitab al-Arba’in karya Imam al-Rahaawi dan dinilai hasan oleh Imam al-‘Azhim Abadi. Keterangan ini kami kutip dari Imam al-Suyuthi dalam kitabnya Jami’ al-Ahaadits.
Setelah basmalah, Ibn Malik melanjutkannya dengan memuji Allah Swt sembari bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur atas karunia ilmu pengetahuan yang telah Allah berikan kepadanya. Karena ilmu pada hakikatnya hanyalah milik Allah yang Ia pinjamkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Selain itu sebuah riwayat yang bernilai dho’if menyebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “setiap perbuatan baik yang tidak diawali dengan pujian kepada Allah dan salawat kepadaku maka keberkahannya akan terputus (kebaikannya akan dihapuskan)”.
Riwayat ini disebutkan oleh Imam al-Daylami dan juga Imam al-Hafizh Abd al-Qadir ibn Abdillah al-Rahaawi dalam Kitab Al-Arba’in. Imam al-Rahaawi menegaskan bahwa penyebutan redaksi “bersalawat kepadaku” dalam teks riwayat di atas ditambahkan oleh Isma’il ibn Abi Ziyad al-Syami, seorang perawi hadis yang sangat lemah sekali (periwayatannya) dan tidak dianggap (oleh para ahli hadis). Namun meskipun riwayat di atas bernilai dhoif (lemah), bukan berarti bersalawat kepada Rasulullah setelah membaca hamdalah tidak punya dasar sama sekali hingga lantas harus ditinggalkan, karena masih banyak hadis-hadis sahih lainnya yang menganjurkan kita untuk banyak bersalawat kepada Baginda Rasul Saw.
Pada bait berikutnya Ibn Malik menjelaskan beberapa keunggulan Alfiyyah yang ia tulis. Ia menilai bahwa Alfiyyah¬¬-nya sebagai kitab nazam terbaik dalam Ilmu Nahwu karena memiliki redaksi yang pendek namun mengandung makna/kandungan yang sangat dalam serta mudah dipahami. Bahkan pada bait ke-5 ia menyebutkan bahwa Alfiyyah yang ia tulis jauh lebih bagus dari Alfiyyah yang pernah ditulis oleh pendahulunya Ibn Mu’thi yang wafat pada tahun 628 hijriah. Terkait dengan hal ini terdapat kisah menarik yang sayang kalau dilewatkan.
Pada saat Ibn Malik menuliskan bait yang kelima tersebut, entah karena sifat ‘ujub yang mungkin saja tergores di dalam hatinya, tiba-tiba saja inspirasinya hilang dan tidak bisa meneruskan bait selanjutnya. Setiap kali dia berusaha untuk menuliskan, selalu saja tidak bisa dan pikirannya menjadi kosong sama sekali. Ia merasa aneh dengan kondisinya hingga akhirnya sampai suatu malam dia bermimpi bertemu dengan Ibn Mu’thi yang menyindirnya karena sudah merasa ujub dan lebih baik dari pendahulunya.
Keesokan harinya dia sadar akan kesalahannya dan segera menghapus bait yang menyanjung dirinya serta merendahkan pendahulunya, Ibn Mu’thi. Bahkan dia menggantinya dengan nazam pujian yang menunjukkan penghargaan serta sanjungan yang sangat tinggi terhadap Ibnu Mu’thi karena sudah memprakarsai penulisan kitab Nahwu dalam bentuk kumpulan syair/nazam. Pelajaran yang dapat dipetik dari sepenggal kisah unik tersebut adalah bahwa setinggi apapun pengetahuan yang kita miliki tidak akan ada artinya kalau diiringi rasa sombong dan merasa diri lebih baik dari orang lain. Karena ilmu hanyalah pinjaman yang sewaktu-waktu bisa saja diambil oleh yang Maha Memiliki. Allahu A’lam. 
( Ditulis oleh : Yunal Isra, alumni MTI Candung)

@ Surau Buya Amran

Sabtu, 19 Maret 2016

Kesimpulan Diskusi Nahwu

Kesimpulan Diskusi Nahwu



- Pertanyaan : apa tanda isim dari isim fiil ?
Jawaban : tanwin tankir, seperti kalimat صهٍ. ( kitab Jami’uddurus, karya Mustafa al-Ghailani).

- Pertanyaan : beberapa pembagian isim fiil?
Jawaban : Isim Fiil terbagi pada 3 : pertama, Isim Fiil Madhi, seperti هيهات. Kedua, Isim Fiil Mudhari’, seperti : أوه. Ketiga, Isim Fiil Amar, seperti : صه. (kitab Hasyiah al-Khudhari, karya Muhammad al-Khudhari).

- Pertanyaan : penjelasan tentang kalimat أيضا ?
Jawaban : kalimat ايضا  adalah Mashadar. Fiilnya adalah أّض، يئيض ، أيضا. Sedangkan secara makna, kalimat أيضا   adalah bermakna رجوع  dan عود. (Kamus Maqayis al-Lughah).

- Pertanyaan : analisis ayat  : ويكأنّ الله ?
Jawaban : وي adalah Isim Fiil dengan makna Ta’jub, dan Kaf dengan makna Lam. (Tafsir Jalalain).

- Pertanyaan : apa shigat kalimat فقط  ?
Jawaban : ada dua pendapat ulama.
Pendapat pertama menjelaskan bahwa kalimat فقط tersusun dari dua kalimat. Pertama الفاء dan kedua قط.
 قط adalah Isim dengan makna اكتفاء. Menurut Ibnu Hisyam, huruf FA (الفاء) adalah tambahan, sebagimana hal ini juga ditemukan pada kalimat : فحسب. Maka contoh : أخذت درهما فقط, maknanya adalah أخذت درهما فاكتفيته. Namun, menurut Jumbur ulama, Fa adalah penghubung bagi Jawab syarat yang ditaqdirkan. Maka  contoh : فحسبي. Takdirnya adalah  فدرهم حسبي.
Pendapat kedua : فقط adalah isim fiil mudhari’  yang bermakna يكتفي. ( kitab Durusul Irab, karya Mashduqi bin Dahlan)

@Surau Buya Amran…

Jumat, 18 Maret 2016

4 tokoh ulama Minangkabau


 
Mengenal 4 tokoh ulama Minangkabau 

Alam minangkabau adalah alamnya para ulama. Di berbagai nagari dan daerah, bertebaran surau-surau yang selalu mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan keIslaman. Berikut ini, kita akan mengenal empat tokoh ulama yang sangat berpengaruh di Minangkabau. Selain itu, keempat tokoh ini juga merupakan tokoh-tokoh awal bagi berdirinya organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Pertama, Syekh Sulaiman arrasuli. Beliau lahir pada tahun 1871 dilingkungan keluarga yang religius. Ayah beliau bernama Syekh Muhammad Rasul, seorang tokoh agama terkena yang digelari dengan Angku Mudo Pakan Kamis.

Pada masa kecilnya, Syekh Sulaiman (Inyiak Canduang)  belajar dengan beberapa ulama terkemuka  Sumatra Barat. Diantaranya dengan Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar, Syekh Tuanku Sami’ Biaro, Tuanku Kolok, Abdussalam Banuhampu.

Setelah mengikuti pengajian di tanah Minang, Syekh Sulaiman melanjutkan pendidikannya ke tanah Haram. Disanalah, beliau belajar dengan Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi dan bertemu dengan beberapa teman dari tanah air Indonesia. Salah satunya dengan Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama. Sepulang dari tanah Suci, beliau mengambdikan dirinya untuk masyarakat hingga akhir hayat. Beliau meninggal pada tahun1970.

Kedua, syekh Abdul Wahid ash-Shalihi tabek gadang. Beliau lahir pada tahun 1878 di kampung Padang Japang, Suliki, Payakumbuh. Ayah beliau bernama Syekh Muhammad Shalih Padang Kandis.

Sewaktu kecil, beliau belajar pada orang tua beliau sendiri dan beberapa tokoh ulama yang berada di Tanah Minang. Antara guru-guru beliau adalah Syekh Imran Limbukan, Payakumbuh, Syekh Muhammad Thahir Sungayang, dan Syekh Saad Mungka.

MTI Tabek Gadang adalah salah satu saksi bisu atas pengabdian beliau kepada masyarakat dengan cara mengembangkan ilmu agama. Beliau wafat pada tahun 1950 dan dimakamkan di Tabek Godang, Payakumbuh.

Ketiga, Syekh Muhammad Jamil Jaho. Beliau lahir di daerah Jaho, Padang Panjang, pada tahun 1875. Ayah beliau adalah Datuak Garang dari nagari Tambangan dan Ibu beliau adalah Umbuik, seorang perempuan yang sangat disegani masyarakat waktu itu. Semasa kecilny, Syekh Jaho belajar al-Quran dengan ayahnya sendiri hingga hafal al-Quran.

Setelah itu, beliau lalu belajar kitab kuniang dengan beberapa ulama. Beberapa guru syekh Muhammad Jamil Jaho ialah Syekh al-Jufri, Syekh al-Ayyubi, Syekh Abdullah Halaban, Syekh Ahmad Khatib, Syekh Abdul Karim Amrullah dan lain-lain.

Seperti yang dilakukan guru dan teman-teman beliau, sepulang di Mekah Syekh Muhammad Jamil mengabdi mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan beliau wafat pada tahun 1945.

Keempat, Syekh Zakariya al-Anshari. Beliau lahir pada tahun 1908 di Padang Lawas, Malalo. Nama kecil beliau adalah Buyuang, sehingga dikalangan masyarakat beliau dikenal dengan panggilan “Buyuang Malalo”.

Beliau terbilang anak yang rajin menuntut ilmu agama. Surau MTI Jaho merupakan tempat beliau menuntut ilmu dimasa muda. Semua macam bidang ilmu agama beliau pelajari langsung dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho.

Selain itu, beliau juga belajar dengan Syekh Ja’far Pulau Gadang, pemuka ajaran Thariqah Naqsyabandiyah. Syekh Zakariyya meninggal pada tahun 1973. Dan dimakamkan di Malalo, Padang Panjang Sumatra Barat.

@Surau Buya Amran…

Senin, 29 Februari 2016

Pentingnya sebuah niat



Hasil gambar untuk niat
Pentingnya memaknai Niat

Salah satu ajaran agama yang sangat perlu kita pahami adalah niat. Karna niat merupakan penentu dari segala aspek ibadah yang kita lakukan. Apakah amalan yang kita kerjakan seperti  shalat, puasa, zakat, menolong orang yang sedang kesusahan, dan lain-lain akan diterima oleh Allah ta’ala atau tidak? semuanya tergantung kepada niat. 

Jika dari mula niat kita memang murni hanya karna Allah Ta’ala, maka ganjaran pahala akan kita peroleh, namun, beda lagi jika sebaliknya, niscaya murka Allah Ta’ala lah yang akan menimpa kita, walaupun perbuatan yang kita lakukan tersebut baik pada zahirnya.

Dalam satu riwayat yang berasal dari Saiidina Umar bin Khattab ra. nabi Muhammad Saw penah bersabda : إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى...
Artinya : sesungguhnya amalan tersebut dengan Niat dan sesungguhnya balasan bagi setiap orang tergantung apa yang ia niatkan.

Hadis ini menegaskan bahwa amalan-amalan yang kita lakukan butuh kepada yang namanya niat, sebagai penentu ganjaran apa yang berhak kita dapatkan dari amalan tersebut. Secara makna, hadis diatas semakna dengan firman Allah SWT yang mengajarkan supaya berniat ikhlas, semata-mata Lillahi Ta’ala dalam beramal. Allah SWT berfirman : وما أمروا إلاّ ليعبدوا الله  مخلصين له الدين حنفاء
Artinya : dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah Ta’ala dalam keadaan ikhlas  menaatinya semata-mata karna agama.

Intinya, dengan ayat dan hadis diatas dapat kita pahami bahwa perintah niat ikhlas, semata-mata hanya karna Allah ta’ala, telah Allah perintahkan sebelum ajaran Nabi Muhammad Saw diturunkan dan perintah tersebut akan berlanjut hingga hari kiamat.
Sebagai lanjutan dari pentingnya memaknai niat, tentu kita harus tahu apa itu niat? Apakah niat itu sama dengan angan-angan, hayalan atau apakah sama dengan yang namanya cita-cita?

Sejatinya, jawaban dari pertanyaan ini telah dipaparkan oleh para ulama dalam berbagai kitab klasik. Sebut saja salah satunya  kitab Syarah Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, salah seorang ulama dalam mazhab Syafiiah. Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan bahwa yang dikatakan niat adalah قصد الشيئ مقترنا بفعله , artinya : sengaja memperbuat sesuatu bersamaan dengan melaksanakannya.

Titik fokus dari defenisi yang dipaparkan oleh Syek Ibnu Qasim disini adalah bahwa niat atau kesengajaan seseorang baru bisa dinilai sebagai niat, jika hal itu bersamaan dengan pelaksanaannya dan bahwa niat itu adalah termasuk pekerjaan hati bukan pekerjaan lisan/lidah.

Dari sini, kita dapat membedakan bahwa niat sangat berbeda dengan cita-cita atau angan-angan. Sebatas cita-cita, mungkin kita bisa mengatakan : saya akan melaksanakan ibadah shalat, puasa, zakat atau yang lainnya besok hari. walaupun pada kenyataan tidak satu pun dari ibadah tersebut kita kerjakan. Tapi, adapun yang namanya niat, mesti bersamaan dengan melaksanakan amalan tersebut. Dan yang dinilai oleh syariat Islam sebagai penentu amalan adalah Niat bukan cita-cita.  (Ahmad Rifqi)

Selasa, 16 Februari 2016

Hijrah dalam sejarah Pesantren



Hasil gambar untuk hijrah
Hijrah dalam sejarah Pesantren

                                Oleh : Ahmad Rifqi

Tak terasa lama, rasanya baru kemaren ritual tahunan itu baru dilaksanakan. Malam ini, ritual ibadah itupun dilaksanakan kembali. Tak  lain, semuanya di lakukan dengan hikmat sebagai tanda kasih sayang dan penghormatan terhadap sejarah perpindahan  Nabi Muhammad saw dari kota Mekah menuju kota Madinah al-Munawwarah.

Dalam sejarah Islam, kata “hijrah” tidak hanya sebatas kosa kata bahasa Arab yang berarti “perpindahan”. Lebih dari itu, Hijrah di maknakan lebih luas menurut perspektif keilmuan  masing-masing.
Menutut ahli tasawuf, hijrah dimaknakan sebagai perpindahan jiwa atau etika seseorang dari yang selama ini dilumuri dengan yang keji dan buruk menuju kepada kelakuan yang penuh dengan budi pengertian yang baik.
Begitu juga dengan ahli Fiqih, sirah, filsafat, dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai pemaknaan sendiri-sendiri.

Tak kalahnya, pesantren, selaku lembaga pendidikan ala Nusantara, ia juga memaknai sendiri kata Hijrah tersebut. Dari berbagai sudut padang yang dapat ditilik, pesantren selalu memperlihatkan hasil kesimpulannya mengenai konsep hijrah. Misalkan dari bidang pendidikan, ekonomi, peradaban, penyatuan dengan adat dan hubungan sosial.

Sejak awal berdirinya, pesantren memaknai fenomena perpindahan (hijrah) yang dilakukan nabi tersebut sebagai tanda perubahan cara pandang dalam pendidikan. Pendidikan dan pengetahuan tidak hanya diperuntukkan bagi ahli Mekah atau bagi kaum Quraisy saja,  namun harus dikembangkan  kepada setiap orang. Siapapun dia, dari suku atau ras apa dia, dalam menerima ajaran Islam mereka sama dan tidak dibedakan satu sama lain.

Dari sinilah bermula, salah satu sistem yang dipakai dalam dunia pesantren adalah sistem halaqah (duduk bersama dalam satu ruangan dengan cara melingkar). Sewaktu pengajian dilansungkan, terlihat jelas, tidak ada yang tinggi, yang mulia, yang kaya, yang hebat bahkan yang berkuasa. Semuanya  duduk dalam satu hamparan. Lutut pun saling beradu, tanda kekerabatan yang saling bertegur sapa dalam bahasa bisu.
Selain itu, dalam lingkungan pesantren juga dikenal dengan yang namanya mengkaji adat istiadat setempat. Pesantren, selain tempat menuntut ilmu agama,juga di jadikan ranah memahami adat masyarakat sekitar. Tak lain maksud dari pengajaran tersebut adalah kiat mengembangkan pengajaran yang telah dituntut di pesantren kepada masyarakat luas.

Sebut saja, Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Dalam masa perjuangannya menegakkan paham Aswaja dan mazhab Syafi’i di tanah Minang, beliau tidak hanya memadai persiapan dakwahnya dengan pemahaman ilmu agama semata. Lebih dari itu, ilmu adat atau corak berfikit masyarakat sekitar, juga beliau kuasai. Sehingga, pada kala itu, ahli adat setempat yang dikenal sering bersebrangan pendapat dengan ulama, tidak ada yang berani menyangkal pendapat beliau. Tak salah jika dikatakan bahwa dakwah Aswaja dan maszhab Syafi’I, di era itu, cukup terbilang cepat.

Begitulah sedikit corak pemaknaan kaum pesantren terhadap fenomena Hijrah rasulullah saw.
Namun, sudah suatu yang pasti, pemahaman pesantren tentang hijrah tidak bisa diwakilkan  dengan dua penafsiran diatas itu saja. Masih banyak hal-hal lain yang belum di bicarakan dan didiskusikan. Bahkan menurut penulis, dalam tulisan ini pun, semua aspek pemaknaan yang dilakukan pesantren juga tidak akan memadai.

Akan tetapi, itu semua juga tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengungkap penafsiran tersebut satu persatu, paling tidak, proses penggalian makna itu pun perlu dilakukan.
Dalam padangan penulis, pemaknaan hijrah dalam tubuh pesantren sangat terlihat jelas, jika sudut pandang yang digunakan adalah sejarah. Dengan membaca sejarah, semua kelakuan dan perubahan (perpindahan) dalam pesantren akan terlihat jelas.

Pada awalnya, memang kita akui pemaknaan hijrah yang dilakukan pesantren memang bersifat positif dan penuh dengan suasana ke Nusantaraan. Tapi, dalam perjalanannya apakah masih tetap begitu, atau malah berbalik arah?.
Berikut saya tulis sedikit perjalan pesantren di masa lalu. Untuk menjawab pertanyaan di atas, silahkan di tanggapi masing-masing.
Dalam cakupan  Nusantara, istilah pesantren merupakan sebutan penduduk Jawa dalam memperkenalkan  sebuah bangunan atau tempat menuntut ilmu agama. Yang disana, keluh kesah keagamaan di selesaikan. Tidak hanya para santri, masyarakat umum juga tidak luput memanfaatkan sarana pendidikan yang terdapat didalamnya. Berbeda dengan Jawa, di daerah Aceh, bangunan tersebut dikenal dengan sebutan dayak, sedangkan di tanah Minang, lebih umum dipanggil dengan istilah Surau. Secara penyebutan memang berbeda, tapi secara isi semuanya sama.

Dikala dulu, pesantren atau surau sangat mempunyai peran yang sangat penting dalam masyarakat. Pengembangan ilmu agama, menyatukan agama dengan adar istiadat, membangunan perekonomian masyarakat bahkan menyelesaikan permasalahan politik Negara adalah sebagian kecil dari peran yang sangat berpengaruh itu.

Kehadiran pesantren dalam masyarakat sangat mendapati tanggapan yang antusias. Banyak masyarakat yang mendambakan bisa menjadi salah satu orang pesantren. Bahkan, disebagian negri, didapati hampir semua masyarakatnya ngaji dan menjadi anggota pesantren.
Dalam peranannya menanggapi adat istiadat yang berbeda, pesantren juga tidak kaku dan kesulitan. Dengan berpakaian kebudayaan dan tradisi, pesantren malah tambah menarik perhatian umum. Rasa kenusantaraan di tubuh pesantren sangat terasa. Apalagi, setelah berhasilnya pesantren menyatukan ajaran agama Islam yang datang dari negri Arab dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda.

Begitu juga dengan sisi pengamalan dan keteguhan dalam mengembangkan ajaran Islam. Walaupun dengan berbagai pakaian tradisi yang ada, Pesantren  masih tetap dengan tujuan awalnya,dan  tidak  pernah tertipu dengan kebudayaan setempat. Tercatat dalam berbagai sejarah, baik yang diteliti oleh kaum pesantren sendiri atau pun hasil riset dari kaum Orientalis, bahwa pesantren selalu di ramaikan oleh para santrinya. Surau-surau suluk di berbagai tempat masih diminati dan selalu dihangatkan dengan suasana zikir. Bisa dikatakan, pesantren tak pernah sunyi dari penghuni yang selalu beribadah didalamnya.

Keberadaan pesantren seperti yang diceritakan diatas adalah pada masa-masa kejayaannya. Yaitu sekitar, abad 18 dan 19 an. Pada waktu itu pesantren memang pusat semua kegiantan.
Sesuai dengan tema diatas, pesantren tidak selamanya begitu. Melihat kepada banyak factor dan sebab pendukung, konsep hijrah kembali di tafsiran oleh pesantren. Banyak perombakan dan peralihan dari berbagai sisi. seperti dari sisi sistem pendidikan, pemahaman tentang masyarakat sekitar dan lain-lain sebagainya.

Sehingga, pemaknaan kembali terhadap konsep hijrah itu pun memberikan efek-efek atau dampak yang sangat berbeda dengan pemaknaan awal. Pada mulanya, pesantren memaknai konsep hijrah bahwa pendidikan tidak hanya bagi mereka yang kaya atau orang yang mampu. Semua orang berhak untuk mendapatkannya. Beda dengan sekarang, pengetahuan hanya bisa dicicipi bagi mereka yang punya uang dan mampu memenuhi kebutuhan mereka di pesantren. Bagi yang tidak mampu, ya mesti dikeluarkan.
Selain itu, pesantren juga tidak menyatu dengan masyarakat setempat. Dalam kata lain, pesantren tidak di huni oleh masyarakat dan masyarakat juga tidak tergolong dalam anggota pesantren. Ada rasa malu yang muncul di benak masyarakat, seketika anak-anak mereka di suruh untuk belajar di pesantren.

Apalagi dengan fakta yang terjadi dalam tubuh pesantren itu sendiri. Efek hijrah (perpindahan) sangat dirasakan. Ia tak lagi mengajarkan syariat yang tepat, sesuai dengan ajaran para gurunya. Sekarang, pesantren tidak lagi bangga dengan ke tokohan para pendirinya. Mereka lebih suka mengkaji ajaran wahabi yang selalu menentang thariqat dan malu jika dikatakan sebagai pondok pesantren atau surau yang mengajarkan serta mengamalkan ibadah suluk.
Ya, itulah segelumit kisah perjalanan pesantren, dalam memanai konsep Hijrah yang pernah dilakukan oleh baginda Nabi saw.

Tentu dari masa ke masa pemaknaan itupun akan berbeda. Namun, yang terpenting sekarang adalah memikirkan pemaknaan hijrah yang seperti apa yang harus diterapkan dalam pesantren, paling tidak untuk satu tahun kedepan?. Apakah masih tetap begitu atau ada perubahan lain?.

Selamat Tahun baru 1437 Hijriah…semoga lebih baik.

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Definition List